Harry Short Story (HSS) by @julianayel
Aku mengadahkan tanganku, merasakan rintik-rintik hujan yang turun.
Rintik-rintik hujan itu, yang pertama hanya turun
pelan-pelan. Kini deras, mengguyur badanku dengan kencangnya.
Menutup air mata ini yang sudah turun lebih dahulu.
Sakit.
Dibandingkan dinginnya hujan, yang kurasakan hanya sakit hati ini.
Menancap terlalu dalam seperti kayu yang di tusukkan langsung ke dada kiriku.
Tiga kali.
Tiga kali aku di selingkuhi oleh James.
Dan hari ini aku menutup kisahku dengannya. Menutup hatiku untuknya lagi.
Aku tak menyangka, bahwa rasanya akan sesakit ini.
Vincentia, apakah kamu tak bisa lebih kuat dari
ini? Kamu hanya putus dengan laki-laki yang hanya berpacaran empat bulan denganmu. Bukan dengan Josh, orang yang pernah kamu pacari lebih dari lima tahun.
Aku tertawa getir. Tertawa karena kebodohanku.
James, you’re bastard.
**********
aku membuka mataku pelan, perih.
“Ugh,” rintihku, palaku pusing bukan main. Aku memegang dahiku,
Kain basah apa ini?
Aku duduk dari posisi tidurku, melihat dengan jelas kain basah ini. Seperti kompresan.
Tunggu, kamar siapa ini? Aku bangkit dari ranjang.
Holyshit. INI RUMAH SIAPA?
Aku mencoba turun dari ranjang, tapi kepalaku benar-benar tak bisa di ajak kompromi. Aku mencoba berjalan pelan menuju pintu kamar yang tertutup dengan tetap memegangi sudut ranjang, tapi tetap saja
aku jatuh. Ohya, dengan bunyi gedebuk keras.
“Aduuh, anjir sakit banget” aku merintih, menyumpah-nyumpah dalam bahasa Indo, mencoba bangun tapi tetap tak bisa. Kakiku keram.
Dan saat itu aku bisa mendengar suara orang mellangkah, tidak lebih tepatnya berlari menuju kesini. Yang bisa kulakukan hanya mematung, ingin sembunyi tapi kaki seperti ini. Mau bagaimana lagi?
Dan pintu menjeblak terbuka,
“what!? What the so- HOLY SHIT! Kenapa kamu bisa di bawah begitu?”
Cowok berambut keriting itu berjalan kearahku memegangi lenganku dan mencoba untuk membuatku berdiri, aku hanya menatap mata hijaunya yang sangat...
“Can you stand?” tanyanya, membuatku sadar
“U-oh. Kakiku keram”
“Come on, I’ll help you”
Ia memapahku berdiri, dan mendudukanku di pinggir kasur.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya, aku menatap matanya yang menatapku khawatir.
“Lumayan, tapi pusing”
Aku tersenyum, ia balas tersenyum, senyum khawatir.
Ia memegang dahiku, “sudah tak demam lagi, untung saja”
Ia berdiri, “lebih baik kamu tidur lagi, masih kurang sehat”
Aku hanya mengangguk,
“panggil aku kapanpun kamu butuh, aku hanya di ruang tamu. Di samping kamar ini”
Aku mengangguk,
“sejam lagi, akan kubawakan bubur”
Aku mengangguk, tersenyum
“Thank you,”
Ia tersenyum dan mengangguk, lalu berjalan menuju pintu,
Aku berani bersumpah, wajahnya sangat familiar.
“Uh, wait” aku memanggilnya
Ia menoleh “what?”
“what’s your name?”
Ia terdiam beberapa detik, kemudian tersenyum lebar
memperlihatkan lesung pipinya.
“Harry”
“uh, oh. Okay. Thanks for everything Harry” aku
tersenyum kikuk.
Ia tersenyum, lalu menutup pintu.
Harry. Harry. Harry. Harry.
Mukanya familiar, tapi aku tak mengetahuinya.
Harry.... satu-satunya Harry yang kutahu Cuma Harry Potter. Lol.
Aku mencoba tertidur, dan dalam satu menit aku sudah di alam mimpi.
“hey, hey. Wake up”
Aku membuka mata pelan. Harry.
Aku merubah posisiku menjadi duduk, menyender ke kepala ranjang. Harry duduk di sudut ranjang, tepat di sampingku.
“This” ia memberiku semangkuk bubur, aku mengambilnya dan membuka tutupnya.
“Thank you”
“your welcome” Ia tersenyum, lalu berdiri.
“Hey,” aku menahannya.
Ia berbalik, menatapku dengan padangan bertanya
“Could you.....” aku tak berani melanjutkannya, terkesan seperti benar-benar meminta, lagipula aku baru bertemu dengannya.
Tapi Harry mengangguk, seakan-akan mengerti apa yangaku ingin katakan.
“Sure,” ia berjalan kembali ke arahku dan duduk seperti tadi,
“thank you. aku hanya ingin.... ada teman mengobrol”
Ia tersenyum, “No prob. Eat it”
Aku mengangguk, memakan bubur pelan-pelan
“What’s your name?” tanyanya, membuka pembicaraan.
“Vincentia,”
Ia mengangguk,
“berapa lama aku disini?”
Harry menimbang-nimbang, “dua hari”
Aku tersedak. “DUA HARI?”
“yes” Harry tersenyum canggung.
“dan jangan khawatir, bukan aku yang mengganti
pakaianmu” Harry tersenyum.
What? Pakaian? Aku menyibakkan selimut yang menutupi badanku.
Ohyah, aku pake baju orang lain.
Baju cowok.
“si-siapa?” tanyaku gelagapan. Aku bisa melihat bahwa Harry sedang menahan tawa.
“well, thats clothes is mine”
Shit.
“Hey hey, Vincentia?” Harry memanggilku yang membuang muka. Sumpah. Malu. Banget.
“Heeey, don’t angry please” dia memegang daguku dengan jari-jarinya yang membuatku tiba-tiba merinding.
I know what this feeling. Likes butterflies fly in your stomach, i feel it now.
“Hey,” suara Harry begitu dekat dengan telingaku, membuatku otomatis menengok.
Sangat dekat. Dan itu membuatku membeku. Membeku
oleh tatapannya. Mata hijaunya yang baru dua jam lalu membuatku terpesona.
Kini dalam jarak kurang dari lima belas senti.
His eyes.
suddenly I woke up from the ice. I backed away slowly, do not want this feeling is even greater.
But, Harry grabbed my arm, made me face him again.
Make our lips meet.
Now, I believe about love at first sight.
***SevenMonthsLater
“I don’t care” aku tersenyum, berusaha menyakinkan Harry. Harry menatapku cemas,
“Are you serious?”
“Yes I just... listen Harry, that’s just rumor right?” harry cepat-cepat mengangguk
“100% rumors, itu hanya majalah yang menulis seperti itu. Sungguh”
Aku tersenyum kepadanya. Although my heart is full of pain because the newspaper i read, it’s okay. I’m
strong, i know that. And i trust him. Difinetely.
“you don’t kiss her” aku menggumam, pikiranku menerawang
“yes”
“whats her name?”
“Victoria,”
“apa yang dia lakukan di airport?”
“dia directioner”
Aku membuang muka, dua patah kata itu sudah cukup menjelaskan segalanya. Ugh. Pastilah. Directioner pasti mau berdesak-desakan dengan yang lainnya. Menunggu mereka berlima muncul dan mengambil foto dengan mereka.
Sampai mengambil kesempatan mencium mereka.
mungkin aku tak akan secemburu dan ingin menangis
jika ciuman di pipi.
Tapi ini? In lips.
Aku tak membenci mereka, directioners itu baik. Sangat, malah.
Tapi jika seperti ini mau bagaimana lagi?
I’ll hit Vicslutoria if I meet her. Seriously.
Untung Harry datang lima hari setelah berita ini
beredar, mungkin kalo hari saat berita ini beredar ia akan menemukanku sedang menangis di flat hingga tak keluar selama tiga hari.
Aku harus berterima kasih kepada Elyn dan Novi, jika tak ada Elyn yang mengetahui detail rumor itu dari kakaknya, Liam, dan jika tak ada Novi yang mengetahuinya juga dari Niall mungkin aku sudah menelepon Harry dan meminta break up.
But I don’t.
“Vincentia?”
“U-egh yeah?” aku tersadar dari lamunanku
“you....... trust me?”
Aku tersenyum tulus, “Of course”
Ia memelukku, erat. “Thank you. thank you so much”
Shit. I love him. So much.
“Vin, udah baikan?”
“kapan gue berantem ama dia sih?” balasku kepada Novi.Novi tersenyum,
“well, thats good”
Aku menghembuskan napas. Menurutku, itu gak bagus sama sekali.
“menurut gue, lo pantes buat mukulin dia Vin,” aku menengok, melihat Elyn yang nongol dari pintu kamar. Tangannya memegang panci berisi coklat. Ia berjalan masuk ke kamar dan duduk di sebelahku.
“I can’t” aku menunduk. Tersenyum terhadap kebodohanku sendiri.
“Do you trust with love at first sight?”
Mereka berdua terdiam sebentar,
“Just.. little” jawab Novi, Elyn mengangguk setuju,
“Well,” aku menjilat bibir,
“I was in love at first sight with Harry Styles five
months ago. And now i still love him, no matter this hurts. He is can’t be replace”
Aku tersenyum kepada mereka
“I must believe him. Must”
***threemonthslater
‘If you ever leave me, baby,... Leave some morphine at my door.. 'Cause it would take a whole lot of medication... To realize what we used to have-
Aku menyambar handphone-ku, siapa sih yang menelepon tengah malam begini?
“hello?” Aku menjawab tanpa melihat siapa yang menelepon
“Hello?”
Aku langsung duduk, “Harry?”
“Hello? Euuuuuugh Vincentia? Hellooow”
Tunggu, dia mabuk ya?
“Harry? Are you drunk?”
“Vincentiaaaa”
“Harry? Are you drunk? Where are you now?”
Aku berdiri, berjalan menuju lemari dan mencari jaketku.
“Vincentiaaa”
“Where. Are. You. now?!” aku berteriak
“ughhh, i’m in-“ “Harry? Are you woke up? Come on, go back to bed”
DEG.
Aku mematung.
Itu. Suara. Perempuan.
Dan apa katanya? Bed? Fuck.
“Harry, Where. Are. You. now?” aku menaha amarah
“Viincccccceeeeeennnnnntia”
“Harry? Harry!? Hey, answer me! Where ar-“
Tuuuttt.. tuuuuttt. Tuuuuttttt...
Holy shit. Double shit. Damn.
Fuck.
Aku mengambil jaket dan mengganti celana, mencoba menelpon Novi atau Elyn.
“Halo? Elyn?”
“Yes? Why ar-“
“can you ask Liam? Apakah dia bersama Harry atau tidak? Please”
“U-ogh, okey” Elyn mengangguk, ia mngerti keadaan. Baguslah. Aku sedang tak ingin berbicara banyak.
“Thank you”
Aku memasukkan handphone ke saku, memakai sepatu ku dan membuka pintu flat.
Firasatku mengatakan ini buruk.
*****SixDaysLater
Aku memandang kosong dari jendela cafe ini,
First date. Dulu itu selalu membuatku tersenyum mebayangkan first date ku dengannya, kini?
Sakit.
Aku masih mengingat senyumannya, lesung pipinya. Yang selalu membuatku ikut tersenyum.
Lima bulan. Terlalu banyak kenangan.
Oh come on Vincent, kamu gak boleh terbayang bayang terus.
That’s over.
Ugh, kenapa mengingatnya itu membuat mataku panas?
Aku berdiri dari tempat dudukku, mengambil bill dan membayarnya lalu keluar dari cafe.
Terakhir aku bertemu dengannya itu lima hari lalu, ketika ia datang ke flatku. Sehari setelah kejadian itu.
Aku hanya menatapnya kosong mekihatnya berdiri di pintu flatku. Sedangkan Harry sendiri kaget melihat penampilanku yangkacau.
Mata bengkak, rambut kusut, dan berantakan.
Well, ia menahan tangis melihatku seperti itu. Mau dikata apalagi? Jangan salahkan aku yang menangis semalaman karena memikirkan apa yang terjadi dengannya.
Ia berjalan ke arahku, tapi aku menahannya dan memandangnya nanar
“it’s over”
Untuk pertama kalinya aku membuat keputusan yang terberat dalam hidupku.
Dan yang terakhir kuingat, aku mendorongnya keluar dari pintu flat dan menguncinya, tak mendengarkan semua penjelasannya.
(Cuma buat nambahin biar enak dengerin lagu Bruno Mars- It will Rain, klo mau yang enak accoustic ininih http://www.youtube.com/watch?v=Q3lwo3FQe-A .sebenernya gue bilang mungkin aja gak ada hubungannya, tapi tetep aje gue demen..)
If you ever leave me, baby,
Aku mengadahkan tangan, merasakan rintik hujan yang turun pelan.
Leave some morphine at my door
Terjadi lagi, dua kali.
'Cause it would take a whole lot of medication
Rintik hujan itu kini turun dengan deras, yang kulakukan hanya berdiam diri. Menunduk.
To realize what we used to have,
Sakit. Sangat.
I won’t say Harry is bastard, no. He is not.
We don't have it anymore.
Because he took me out from the darkness.
Aku mengingat bait-bait It Will Rain di kepalaku, entah kenapa itu sangat mengingatkan kepada Harry.
u-egh, dengan langkah sebisaku dan kepalaku yang pusing aku mencoba berjalan menuju flat yang sudah dekat.
Tapi yang aku ingat terakhir kali hanyalah ketika lututku menyentuh tanah dan aku rubuh.
Dengan suara Harry yang berteriak.
If you ever leave me, baby,
Leave some morphine at my door
'Cause it would take a whole lot of medication
To realize what we used to have,
We don't have it anymore.
There's no religion that could save me
No matter how long my knees are on the floor(Ooh)
So keep in mind all the sacrifices I'm makin'
To keep you by my side
To keep you from walkin' out the door.
'Cause there'll be no sunlight
If I lose you, baby
There'll be no clear skies
If I lose you, baby
Just like the clouds
My eyes will do the same, if you walk away
Everyday it'll rain, rain, ra-a-a-ain
*****
Pening.
Aku mencoba membuka mata dan berusaha mengubah posisi menjadi duduk
Dimana ini? aku melihat sekeliling, ah kamarku.
Hah? Bagaimana bisa disini?
Dan saat itu aku baru sadar.
Seseorang sedang tidur di pinggir tempat tidur. Dari
rambut keritingnya saja sudah tahu.
Maybe it’s not funny if I say I miss him. So much.
Harusnya aku pura-pura tidur lagi, atau sekalian pergi entah kemana dan meninggalkan dia sendiri, atau mungkin memarahi dia.
Tapi yang aku lakukan malah menahan tangis dan bermain dengan rambutnya.
However this pain, i don’t care.
If you ever leave me, baby,... Leave some morphine at my door .....'Cause it would take a whole lot of medication.... To realize what we used to have,...
FUCK.
Mampus! Kenapa di saat gini hape bunyi sih?!
Aku mencari handphone-ku yang ternyata di samping bantal, dan me-reject siapapun yang menelpon. Aku menghembuskan napas lega dan berbalik.
Fuck.
Dia bangun.
Dan kini sedang menatapku, mematung. Aku? mematung juga.
“Vincentia” harry berkata pelan, bahakn seperti berbisik setelah tiga menit awkward.
“well..” i bit my lips.
“I miss you”
Aku mematung. Kenapa dia mengucapkan kata fatal?
Yang membuatku makin menyesal memutusi dia?
“I know i’m wrong”
Fvck.
“I know I've hurt you”
Aku menunduk, menyembunyikan air mataku yang sudah diujung.
“I know we broke up five days ago because my fault”
Ia menggenggam tanganku. Hangat.
“Vincentia, look at me”
“Hey, look at me please”
Aku menggeleng keras. Tidaktidaktidak.
Ia menggenggam wajahku dengan kedua tangannya, memaksaku melihat matanya yang hijau.
“Look. At. Me.”
Bola mata yang hijau itu melihatku. Langsung, Holy
shit. I couldn’t stop these tears.
“Hey, why are you crying?” ia menghapus tangisanku
“Don’t cry, I’m here I’m here” he hug me.
*
“Say something”
Aku terdiam “Mmh hm”
“that’s murmured, not saying”
Aku berpikir “Ask something”
Ia seperti berpikir, lalu tersenyum. Senyum jahil,
“Do you miss me?”
Shit.
“Well, em..” aku menatapnya, matanya seperti mengharap.
“Yes”
Ia tersenyum. Lebar. Hangat. Menggambarkan bahwa ia bahagia sekarang.
Entah kenapa, aku ikut tersenyum.
Tapi kutahan.
“can I ask one more?”
Aku berpikir. Tidak. Iya. Tidak. Iya. Tidak.
“Shoot”
Fvck. WHY I SAY THAT?!
Harry menatapku ragu,
“Well, em...” aku menatapnya, menunggu.
“Still love me?”
Aku mematung.
Apa yang harus kukatakan? Mengatakan iya?
“well,” aku menjilat bibir. “what do you think?”
“I just hope you still love me”
“for what?”
Ia menggenggam tanganku,
“for say ‘I want you come back to me’”
Aku mematung.
Sedetik.... dua detik... tiga detik..... empat detik...... lima detik..
ANJIR GAK BISA NAHAN SENYUM BO.
“Want the answer?” I smile
“Of course” dia tersenyum harap.
“well,” aku memeluknya, “I think you know the answer”
***
If you ever leave me, baby,
Leave some morphine at my door
'Cause it would take a whole lot of medication
To realize what we used to have,
We don't have it anymore.
***
THE END
Leave your comment!<3
Aku mengadahkan tanganku, merasakan rintik-rintik hujan yang turun.
Rintik-rintik hujan itu, yang pertama hanya turun
pelan-pelan. Kini deras, mengguyur badanku dengan kencangnya.
Menutup air mata ini yang sudah turun lebih dahulu.
Sakit.
Dibandingkan dinginnya hujan, yang kurasakan hanya sakit hati ini.
Menancap terlalu dalam seperti kayu yang di tusukkan langsung ke dada kiriku.
Tiga kali.
Tiga kali aku di selingkuhi oleh James.
Dan hari ini aku menutup kisahku dengannya. Menutup hatiku untuknya lagi.
Aku tak menyangka, bahwa rasanya akan sesakit ini.
Vincentia, apakah kamu tak bisa lebih kuat dari
ini? Kamu hanya putus dengan laki-laki yang hanya berpacaran empat bulan denganmu. Bukan dengan Josh, orang yang pernah kamu pacari lebih dari lima tahun.
Aku tertawa getir. Tertawa karena kebodohanku.
James, you’re bastard.
**********
aku membuka mataku pelan, perih.
“Ugh,” rintihku, palaku pusing bukan main. Aku memegang dahiku,
Kain basah apa ini?
Aku duduk dari posisi tidurku, melihat dengan jelas kain basah ini. Seperti kompresan.
Tunggu, kamar siapa ini? Aku bangkit dari ranjang.
Holyshit. INI RUMAH SIAPA?
Aku mencoba turun dari ranjang, tapi kepalaku benar-benar tak bisa di ajak kompromi. Aku mencoba berjalan pelan menuju pintu kamar yang tertutup dengan tetap memegangi sudut ranjang, tapi tetap saja
aku jatuh. Ohya, dengan bunyi gedebuk keras.
“Aduuh, anjir sakit banget” aku merintih, menyumpah-nyumpah dalam bahasa Indo, mencoba bangun tapi tetap tak bisa. Kakiku keram.
Dan saat itu aku bisa mendengar suara orang mellangkah, tidak lebih tepatnya berlari menuju kesini. Yang bisa kulakukan hanya mematung, ingin sembunyi tapi kaki seperti ini. Mau bagaimana lagi?
Dan pintu menjeblak terbuka,
“what!? What the so- HOLY SHIT! Kenapa kamu bisa di bawah begitu?”
Cowok berambut keriting itu berjalan kearahku memegangi lenganku dan mencoba untuk membuatku berdiri, aku hanya menatap mata hijaunya yang sangat...
“Can you stand?” tanyanya, membuatku sadar
“U-oh. Kakiku keram”
“Come on, I’ll help you”
Ia memapahku berdiri, dan mendudukanku di pinggir kasur.
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya, aku menatap matanya yang menatapku khawatir.
“Lumayan, tapi pusing”
Aku tersenyum, ia balas tersenyum, senyum khawatir.
Ia memegang dahiku, “sudah tak demam lagi, untung saja”
Ia berdiri, “lebih baik kamu tidur lagi, masih kurang sehat”
Aku hanya mengangguk,
“panggil aku kapanpun kamu butuh, aku hanya di ruang tamu. Di samping kamar ini”
Aku mengangguk,
“sejam lagi, akan kubawakan bubur”
Aku mengangguk, tersenyum
“Thank you,”
Ia tersenyum dan mengangguk, lalu berjalan menuju pintu,
Aku berani bersumpah, wajahnya sangat familiar.
“Uh, wait” aku memanggilnya
Ia menoleh “what?”
“what’s your name?”
Ia terdiam beberapa detik, kemudian tersenyum lebar
memperlihatkan lesung pipinya.
“Harry”
“uh, oh. Okay. Thanks for everything Harry” aku
tersenyum kikuk.
Ia tersenyum, lalu menutup pintu.
Harry. Harry. Harry. Harry.
Mukanya familiar, tapi aku tak mengetahuinya.
Harry.... satu-satunya Harry yang kutahu Cuma Harry Potter. Lol.
Aku mencoba tertidur, dan dalam satu menit aku sudah di alam mimpi.
“hey, hey. Wake up”
Aku membuka mata pelan. Harry.
Aku merubah posisiku menjadi duduk, menyender ke kepala ranjang. Harry duduk di sudut ranjang, tepat di sampingku.
“This” ia memberiku semangkuk bubur, aku mengambilnya dan membuka tutupnya.
“Thank you”
“your welcome” Ia tersenyum, lalu berdiri.
“Hey,” aku menahannya.
Ia berbalik, menatapku dengan padangan bertanya
“Could you.....” aku tak berani melanjutkannya, terkesan seperti benar-benar meminta, lagipula aku baru bertemu dengannya.
Tapi Harry mengangguk, seakan-akan mengerti apa yangaku ingin katakan.
“Sure,” ia berjalan kembali ke arahku dan duduk seperti tadi,
“thank you. aku hanya ingin.... ada teman mengobrol”
Ia tersenyum, “No prob. Eat it”
Aku mengangguk, memakan bubur pelan-pelan
“What’s your name?” tanyanya, membuka pembicaraan.
“Vincentia,”
Ia mengangguk,
“berapa lama aku disini?”
Harry menimbang-nimbang, “dua hari”
Aku tersedak. “DUA HARI?”
“yes” Harry tersenyum canggung.
“dan jangan khawatir, bukan aku yang mengganti
pakaianmu” Harry tersenyum.
What? Pakaian? Aku menyibakkan selimut yang menutupi badanku.
Ohyah, aku pake baju orang lain.
Baju cowok.
“si-siapa?” tanyaku gelagapan. Aku bisa melihat bahwa Harry sedang menahan tawa.
“well, thats clothes is mine”
Shit.
“Hey hey, Vincentia?” Harry memanggilku yang membuang muka. Sumpah. Malu. Banget.
“Heeey, don’t angry please” dia memegang daguku dengan jari-jarinya yang membuatku tiba-tiba merinding.
I know what this feeling. Likes butterflies fly in your stomach, i feel it now.
“Hey,” suara Harry begitu dekat dengan telingaku, membuatku otomatis menengok.
Sangat dekat. Dan itu membuatku membeku. Membeku
oleh tatapannya. Mata hijaunya yang baru dua jam lalu membuatku terpesona.
Kini dalam jarak kurang dari lima belas senti.
His eyes.
suddenly I woke up from the ice. I backed away slowly, do not want this feeling is even greater.
But, Harry grabbed my arm, made me face him again.
Make our lips meet.
Now, I believe about love at first sight.
***SevenMonthsLater
“I don’t care” aku tersenyum, berusaha menyakinkan Harry. Harry menatapku cemas,
“Are you serious?”
“Yes I just... listen Harry, that’s just rumor right?” harry cepat-cepat mengangguk
“100% rumors, itu hanya majalah yang menulis seperti itu. Sungguh”
Aku tersenyum kepadanya. Although my heart is full of pain because the newspaper i read, it’s okay. I’m
strong, i know that. And i trust him. Difinetely.
“you don’t kiss her” aku menggumam, pikiranku menerawang
“yes”
“whats her name?”
“Victoria,”
“apa yang dia lakukan di airport?”
“dia directioner”
Aku membuang muka, dua patah kata itu sudah cukup menjelaskan segalanya. Ugh. Pastilah. Directioner pasti mau berdesak-desakan dengan yang lainnya. Menunggu mereka berlima muncul dan mengambil foto dengan mereka.
Sampai mengambil kesempatan mencium mereka.
mungkin aku tak akan secemburu dan ingin menangis
jika ciuman di pipi.
Tapi ini? In lips.
Aku tak membenci mereka, directioners itu baik. Sangat, malah.
Tapi jika seperti ini mau bagaimana lagi?
I’ll hit Vicslutoria if I meet her. Seriously.
Untung Harry datang lima hari setelah berita ini
beredar, mungkin kalo hari saat berita ini beredar ia akan menemukanku sedang menangis di flat hingga tak keluar selama tiga hari.
Aku harus berterima kasih kepada Elyn dan Novi, jika tak ada Elyn yang mengetahui detail rumor itu dari kakaknya, Liam, dan jika tak ada Novi yang mengetahuinya juga dari Niall mungkin aku sudah menelepon Harry dan meminta break up.
But I don’t.
“Vincentia?”
“U-egh yeah?” aku tersadar dari lamunanku
“you....... trust me?”
Aku tersenyum tulus, “Of course”
Ia memelukku, erat. “Thank you. thank you so much”
Shit. I love him. So much.
“Vin, udah baikan?”
“kapan gue berantem ama dia sih?” balasku kepada Novi.Novi tersenyum,
“well, thats good”
Aku menghembuskan napas. Menurutku, itu gak bagus sama sekali.
“menurut gue, lo pantes buat mukulin dia Vin,” aku menengok, melihat Elyn yang nongol dari pintu kamar. Tangannya memegang panci berisi coklat. Ia berjalan masuk ke kamar dan duduk di sebelahku.
“I can’t” aku menunduk. Tersenyum terhadap kebodohanku sendiri.
“Do you trust with love at first sight?”
Mereka berdua terdiam sebentar,
“Just.. little” jawab Novi, Elyn mengangguk setuju,
“Well,” aku menjilat bibir,
“I was in love at first sight with Harry Styles five
months ago. And now i still love him, no matter this hurts. He is can’t be replace”
Aku tersenyum kepada mereka
“I must believe him. Must”
***threemonthslater
‘If you ever leave me, baby,... Leave some morphine at my door.. 'Cause it would take a whole lot of medication... To realize what we used to have-
Aku menyambar handphone-ku, siapa sih yang menelepon tengah malam begini?
“hello?” Aku menjawab tanpa melihat siapa yang menelepon
“Hello?”
Aku langsung duduk, “Harry?”
“Hello? Euuuuuugh Vincentia? Hellooow”
Tunggu, dia mabuk ya?
“Harry? Are you drunk?”
“Vincentiaaaa”
“Harry? Are you drunk? Where are you now?”
Aku berdiri, berjalan menuju lemari dan mencari jaketku.
“Vincentiaaa”
“Where. Are. You. now?!” aku berteriak
“ughhh, i’m in-“ “Harry? Are you woke up? Come on, go back to bed”
DEG.
Aku mematung.
Itu. Suara. Perempuan.
Dan apa katanya? Bed? Fuck.
“Harry, Where. Are. You. now?” aku menaha amarah
“Viincccccceeeeeennnnnntia”
“Harry? Harry!? Hey, answer me! Where ar-“
Tuuuttt.. tuuuuttt. Tuuuuttttt...
Holy shit. Double shit. Damn.
Fuck.
Aku mengambil jaket dan mengganti celana, mencoba menelpon Novi atau Elyn.
“Halo? Elyn?”
“Yes? Why ar-“
“can you ask Liam? Apakah dia bersama Harry atau tidak? Please”
“U-ogh, okey” Elyn mengangguk, ia mngerti keadaan. Baguslah. Aku sedang tak ingin berbicara banyak.
“Thank you”
Aku memasukkan handphone ke saku, memakai sepatu ku dan membuka pintu flat.
Firasatku mengatakan ini buruk.
*****SixDaysLater
Aku memandang kosong dari jendela cafe ini,
First date. Dulu itu selalu membuatku tersenyum mebayangkan first date ku dengannya, kini?
Sakit.
Aku masih mengingat senyumannya, lesung pipinya. Yang selalu membuatku ikut tersenyum.
Lima bulan. Terlalu banyak kenangan.
Oh come on Vincent, kamu gak boleh terbayang bayang terus.
That’s over.
Ugh, kenapa mengingatnya itu membuat mataku panas?
Aku berdiri dari tempat dudukku, mengambil bill dan membayarnya lalu keluar dari cafe.
Terakhir aku bertemu dengannya itu lima hari lalu, ketika ia datang ke flatku. Sehari setelah kejadian itu.
Aku hanya menatapnya kosong mekihatnya berdiri di pintu flatku. Sedangkan Harry sendiri kaget melihat penampilanku yangkacau.
Mata bengkak, rambut kusut, dan berantakan.
Well, ia menahan tangis melihatku seperti itu. Mau dikata apalagi? Jangan salahkan aku yang menangis semalaman karena memikirkan apa yang terjadi dengannya.
Ia berjalan ke arahku, tapi aku menahannya dan memandangnya nanar
“it’s over”
Untuk pertama kalinya aku membuat keputusan yang terberat dalam hidupku.
Dan yang terakhir kuingat, aku mendorongnya keluar dari pintu flat dan menguncinya, tak mendengarkan semua penjelasannya.
(Cuma buat nambahin biar enak dengerin lagu Bruno Mars- It will Rain, klo mau yang enak accoustic ininih http://www.youtube.com/watch?v=Q3lwo3FQe-A .sebenernya gue bilang mungkin aja gak ada hubungannya, tapi tetep aje gue demen..)
If you ever leave me, baby,
Aku mengadahkan tangan, merasakan rintik hujan yang turun pelan.
Leave some morphine at my door
Terjadi lagi, dua kali.
'Cause it would take a whole lot of medication
Rintik hujan itu kini turun dengan deras, yang kulakukan hanya berdiam diri. Menunduk.
To realize what we used to have,
Sakit. Sangat.
I won’t say Harry is bastard, no. He is not.
We don't have it anymore.
Because he took me out from the darkness.
Aku mengingat bait-bait It Will Rain di kepalaku, entah kenapa itu sangat mengingatkan kepada Harry.
u-egh, dengan langkah sebisaku dan kepalaku yang pusing aku mencoba berjalan menuju flat yang sudah dekat.
Tapi yang aku ingat terakhir kali hanyalah ketika lututku menyentuh tanah dan aku rubuh.
Dengan suara Harry yang berteriak.
If you ever leave me, baby,
Leave some morphine at my door
'Cause it would take a whole lot of medication
To realize what we used to have,
We don't have it anymore.
There's no religion that could save me
No matter how long my knees are on the floor(Ooh)
So keep in mind all the sacrifices I'm makin'
To keep you by my side
To keep you from walkin' out the door.
'Cause there'll be no sunlight
If I lose you, baby
There'll be no clear skies
If I lose you, baby
Just like the clouds
My eyes will do the same, if you walk away
Everyday it'll rain, rain, ra-a-a-ain
*****
Pening.
Aku mencoba membuka mata dan berusaha mengubah posisi menjadi duduk
Dimana ini? aku melihat sekeliling, ah kamarku.
Hah? Bagaimana bisa disini?
Dan saat itu aku baru sadar.
Seseorang sedang tidur di pinggir tempat tidur. Dari
rambut keritingnya saja sudah tahu.
Maybe it’s not funny if I say I miss him. So much.
Harusnya aku pura-pura tidur lagi, atau sekalian pergi entah kemana dan meninggalkan dia sendiri, atau mungkin memarahi dia.
Tapi yang aku lakukan malah menahan tangis dan bermain dengan rambutnya.
However this pain, i don’t care.
If you ever leave me, baby,... Leave some morphine at my door .....'Cause it would take a whole lot of medication.... To realize what we used to have,...
FUCK.
Mampus! Kenapa di saat gini hape bunyi sih?!
Aku mencari handphone-ku yang ternyata di samping bantal, dan me-reject siapapun yang menelpon. Aku menghembuskan napas lega dan berbalik.
Fuck.
Dia bangun.
Dan kini sedang menatapku, mematung. Aku? mematung juga.
“Vincentia” harry berkata pelan, bahakn seperti berbisik setelah tiga menit awkward.
“well..” i bit my lips.
“I miss you”
Aku mematung. Kenapa dia mengucapkan kata fatal?
Yang membuatku makin menyesal memutusi dia?
“I know i’m wrong”
Fvck.
“I know I've hurt you”
Aku menunduk, menyembunyikan air mataku yang sudah diujung.
“I know we broke up five days ago because my fault”
Ia menggenggam tanganku. Hangat.
“Vincentia, look at me”
“Hey, look at me please”
Aku menggeleng keras. Tidaktidaktidak.
Ia menggenggam wajahku dengan kedua tangannya, memaksaku melihat matanya yang hijau.
“Look. At. Me.”
Bola mata yang hijau itu melihatku. Langsung, Holy
shit. I couldn’t stop these tears.
“Hey, why are you crying?” ia menghapus tangisanku
“Don’t cry, I’m here I’m here” he hug me.
*
“Say something”
Aku terdiam “Mmh hm”
“that’s murmured, not saying”
Aku berpikir “Ask something”
Ia seperti berpikir, lalu tersenyum. Senyum jahil,
“Do you miss me?”
Shit.
“Well, em..” aku menatapnya, matanya seperti mengharap.
“Yes”
Ia tersenyum. Lebar. Hangat. Menggambarkan bahwa ia bahagia sekarang.
Entah kenapa, aku ikut tersenyum.
Tapi kutahan.
“can I ask one more?”
Aku berpikir. Tidak. Iya. Tidak. Iya. Tidak.
“Shoot”
Fvck. WHY I SAY THAT?!
Harry menatapku ragu,
“Well, em...” aku menatapnya, menunggu.
“Still love me?”
Aku mematung.
Apa yang harus kukatakan? Mengatakan iya?
“well,” aku menjilat bibir. “what do you think?”
“I just hope you still love me”
“for what?”
Ia menggenggam tanganku,
“for say ‘I want you come back to me’”
Aku mematung.
Sedetik.... dua detik... tiga detik..... empat detik...... lima detik..
ANJIR GAK BISA NAHAN SENYUM BO.
“Want the answer?” I smile
“Of course” dia tersenyum harap.
“well,” aku memeluknya, “I think you know the answer”
***
If you ever leave me, baby,
Leave some morphine at my door
'Cause it would take a whole lot of medication
To realize what we used to have,
We don't have it anymore.
***
THE END
Leave your comment!<3
0 komentar:
Posting Komentar